Semua guru penerima tunjangan sertifikasi tentu harus bersyukur, karena negara telah mengucurkan dana sertifikasi buat mereka. Dari uang yang diterima mereka telah merasakan manfaatnya terutama dalam peningkatan kesejahteraan- sebagai tambahan gaji.
Jauh sebelum program sertifikasi tersebut diluncurkan, mungkin saat itu masih dalam tahap sosialisasi, sebahagian guru sempat berfikir tentang bagaimana wujud program sertifikasi tersebut. Apakah sertifikasi diberikan kepada segelintir guru yang memang dianggap professional, yang mana keprofesionalan mereka dibuktikan dengan serangkaian assessment yang valid dan terpercaya. Atau sertifikasi diberikan sebagai reward/ penghargaan kepada guru yang menang dalam seleksi, ya seperti seleksi guru berprestasi, guru teladan atau seleksi
teacher of the year. “
Wah kalau demikian pasti hebat, dan guru yang bersertifikat pasti memang guru yang ideal”.
Ternyata setelah itu program sertifikasi hanya dalam bentuk pemberian label sertifikasi terhadap guru secara massal, tanpa penilaian yang detail terhadap kualitas mereka: “guru santai atau rajin, guru berkualitas dan guru amburadul sama-sama dapat untung seritifikasi”. Sertifikasi kemudian menjadi berita hebat- menjadi angin segar- bagi guru. Dengan sertifikisasi guru akan sejahtera, dan pemberian sertifikasi sebagai tanda bahwa seorang guru telah menjadi guru professional, tidak percaya- coba lihat pin yang telah mereka terima. Namun apakah guru penerima sertifikasi telah mampu meningkatkan kualitas SDM pendidikan bangsa ini ?
Ternyata hampir semua guru mampu menerima sertifikasi dengan enteng, apalagi dengan adanya system quota. Dan ternyata para guru merasakan betapa mudahnya memperoleh label professional tersebut- apalagi setelah ada jaminan atau pelatihan dari universitas yang ditunjuk atau pusat diklat (pendidikan latihan) bagi sertifikasi guru yang seolah-olah sang guru telah berkualitas.
Kini pada beberapa media massa, sudah sering terbersit segelintir kekecewaan dan ketidakpuasan. Mereka mengatakan bahwa: “t
ernyata program sertifikasi belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata program sertifikasi tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan, ternyata program sertifikasi hanya baru sebatas membuat guru rajin datang ke sekolah dan mencukupi jatah/ quota jam mengajar menjadi 24 jam perminggu”. Bagi guru yang tidak cukup jam mengajar 24 jam, maka mereka boleh melakukan pembelajaran lewat
team teaching. Ada ada saja bahwa ternyata ditemukan juga guru- guru yang galir atau licik dalam memikul beban
team teaching- sebagai persyaratan mengajar 24 jam per minggu. Katanya lagi melakukan team teaching, ternyata yang satu ngajar dan yang lain membolos, dengan cara rekayasa, maka mereka sukses membuat “tim kucing”.
Kenyataan di lapangan bahwa tidak ada jaminan guru yang memperoleh pin (emblem) sebagai guru professional atau guru penerima sertifikasi, apalagi telah menerima kucuran dana segar, bakal menjadi guru yang sungguh-sungguh kompeten. Yakni memiliki kompetensi paedagogi, kompetensi, social, kompetensi komunikasi dan kompetensi profesi. Juga tidak ada jaminan guru yang sudah pulang dari kegiatan diklat (pendidikan latihan) yang dipandu oleh doctor dan professional sekalipun bakal menjadi guru yang professional. Juga tidak ada jaminan bahwa guru yang melaksanakan proses pembelajaran secara
team teaching bakal mampu meningkatkan SDM siswa.
Meningkatkan SDM siswa tidak segampang itu. Apalagi kalau sang guru tidak tahu dengan masalah motivasi belajar, minat belajar, model atau gaya mengajar. Tentu ada banyak hal. Andai ada dua orang guru yang sedang melakukan
team teaching namun suasana kelas penuh dengan kecaman, bahasa menggerutu, mengeritik, maka jangan harap bahwa siswa akan termotivasi dalam belajar.
Walau guru penerima sertifikasi belum memperlihatkan kontribusi signifikan dalam peningkatkan SDM pendidikan, namun kita harap agar pemerintah tidak menghentikan program atau bantuan sertifikasi ini. Karena dana sertifikasi memang bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi mereka perlu pembinaan peningkatan mutu yang serius.
Persyaratan agar guru mampu menggenjot kualitas SDM anak didik adalah bahwa mereka sendiri harus memiliki kualitas diri yang tinggi. Dalam fenomena bahwa ternyata kualitas diri seorang guru belum ditentukan oleh sertifikat profesi yang mereka peroleh atau pelatihan professional yang mereka ikuti. Apalagi kalau mereka mengikutinya tidak sepenuh hati - asal-asalan saja.
Disinyalir bahwa seorang guru menjadi kurang menarik- belum mampu menjadi guru ideal di sekolah, karena mereka memiliki tiga kelemahan, yaitu: lemah dalam budaya membaca, lemah budaya diskusi dan lemah dengan budaya menulis. Kelemahan ini memang terbukti di lapangan.
Pergilah ke lapangan, ke sekolah-sekolah, maka kita akan menemui bahwa tidak banyak guru yang tekun dengan membaca. Hitunglah berapa orang guru yang gemar membaca- walau hanya baru sebatas membaca majalah atau Koran, apalagi kalau membaca buku buku bermutu lainnya. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) hampir 90 % perpustakaan sekolah tidak diperdayakan- dibiarkan terkunci sepanjang hari. Ini berarti cukup banyak siswa SD yang tidak merasakan betapa indahnya membaca itu, pantaslah tidak begitu banyak anak yang kenal dengan nama majalah anak-anak.
Kalau begitu target membaca di SD hanya sekedar membuat siswa bisa membaca kalimat-kalimat pendek saja. Setelah siswa pandai membaca, mereka tidak pernah diajak dan dimotivasi untuk membaca buku lagi. “
Ya bagaimana..., guru SD itu sendiri juga tidak merasakan betapa enaknya menjadi pembaca, guru-guru SD sendiri juga banyak yang alergi dengan bacaan- kalau membaca ya mataku segera berair”. Rapuhnya budaya membaca semakin berlanjut ke jenjang SMP dan juga oleh guru SMP, terus ke jenjang SLTA. Kita temukan cukup banyak guru guru SLTA dan juga para mahasiswa yang tidak menyukai membaca. Mereka cuma lebih betah main game lewat layar computer atau otak atik phone-cell, bukan berupaya bagaimana kualitas diri bisa meningkat.
Kalau mereka tidak pernah membaca dan amat jarang membaca, ya bagaimana mereka akan kaya dengan wawasan dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai buat diri sendiri dan bagi orang lain. Catatan yang ada pada dinding rumah puisi Taufiq Ismail di Kenagarian Aie Angek, di Lereng gunung Singgalang, dekat Padang Panjanang, mengungkapkan bahwa sekolah- sekolah di negara tetangga yang maju seperti Australia, New Zealand, dan Singapore selalu menugaskan siswa-siswi mereka agar membaca puluhan karya sastra per semester. Sementara aktivitas begini hampir nihil bagi pendidikan kita. Nah inilah penyebab rendahnya SDM kita, namun banyak orang yang kurang tertarik untuk mengekspose nya, atau mengajak “kembali membaca dan mengaktifkan kembali perpustakaan sekolah”.
Kelemahan kedua dalam pendidikan kita adalah bahwa budaya diskusi dan berdebat termasuk langka. Guru sebagai pendidik belum terbiasa dalam diskusi dan berdebat, mereka hanya terbiasa dengan debat kusir. Guru-guru yang tidak terbiasa dengan berdiskusi juga akan tidak tertarik dengan metode diskusi dalam pembelajaran. Mereka merasa sangat nyaman untuk mengajar dengan metode konvensional. Merasa gerah kalau ada siswa yang kritis dan banyak Tanya, “
wah mulutmu bisulan ya ..., kerja kamu ngomong dan bertanya tidak karuan melulu”. Alpanya budaya berdiskusi dan berdebat telah membuat daya nalar guru dan budaya nalar anak didik menjadi lemah. Ini juga menjadi pemicu mengapa SDM anak didik cenderung rendah.
Akhirnya budaya lain yang juga alfa dalam pendidikan kita adalah budaya menulis. Sebenarnya seorang guru identik dengan figur intelektual. Ternyata sungguh banyak mereka yang tidak mampu dalam menulis. Menulis karya ilmiah, menulis proposal dan apalagi melakukan penelitian ilmiah adalah suatu hal yang mahal. Kini dalam musim kualifikasi pendidikan- bahwa semua guru harus memperoleh pendidikan strata satu. Maka dalam menyelesaikan skripsi yang cuma dalam bentuk penelitian tindakan kelas (PTK) mereka pun masih terlihat kasak kusuk dalam meramu tulisan yang mereka anggap ilmiah dengan metode copy paste. Masih sulit juga menyelesaikan PTK, ya terpaksa mencari cara aspal- asli tapi palsu.
Apakah mungkin guru-guru yang tidak terbiasa dalam menulis akan mampu menularkan kebiasaan menulis buat anak didik. Satu atau dua orang siswa di sekolah memang ada yang menyukai menulis. Mereka mampu menulis cerpen, puisi atau artikel ringan. Itu sebagian karena mereka terinspirasi oleh bacaan yang kebetulan berisi motivasi. Nah bagaimana kalau mereka memperoleh pasokan motivasi dari sang guru, pasti hasilnya sangat luar biasa.
Tidak perlu berputus asa bila guru guru- apalagi guru penerima sertifikasi belum memberikan kontribusi dalam meningkatkan SDM pendidikan kita. Namun mereka perlu mengubah pola pikir.
Ilham Mustafa (2011) telah menulis tentang arah pemikiran mahasiswa. Tulisannya dapat kita sadur untuk mengarahkan guru. Pertama, mereka perlu menciptakan budaya membaca, karena ada sloga yang berbunyi “dengan membaca kita genggam dunia. Mengapa Amerika dan Eropa bisa maju ? Karena penduduknya aktif membaca. Masyarakatnya rata-rata kutu buku. Penduduk Negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka ke mana pun pergi. Ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, dan aktivitas lainnya, mereka tidak pernah lupa untuk menyempatkan membaca, dengan membaca mereka punya wawasan.
Kedua, guru perlu menciptakan tradisi diskusi. Budaya diskusi akan membuat guru menjadi lebih kritis dan bisa menguasai konsep. Ketiga, guru perlu menciptakan budaya menulis. Dengan menulis maka guru bisa mengatualisasikan pemikirannya
0 komentar:
Posting Komentar